Salah satu gagasan besar yang digumuli para ahli pikir sejak dahulu adalah keabadian. Jasad orang arif tidak pernah abadi, tetapi buah pikiran mereka kekal, karena diabadikan melalui karangan yang ditulis. Dunia Timur menyadari nilai ini dengan pepatahnya yang berbunyi, "Segala sesuatu musnah kecuali perkataan yang tertulis." Imam Ja'far ash-Shadiq mengatakan, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya."
Islam sangat mendorong umatnya untuk menulis. Motivasi menulis terebut langsung turun tatkala Allah Swt. menurunkan wahyu pertama kalinya kepada Muhammad Saw. di Gua Hira. Firman Allah Swt (QS. Al-'Alaq {96}: 1-5).
Dalam ayat monumental ini, sangat jelas bagaimana Allah Swt. menempat pena (alat untuk menulis) sebagai komponen vital dalam mencerdaskan manusia. Pena sebagai simbol tulisan digabungkan dengan membaca. Sebuah kombinasi sinergis. Membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang tidak bisa dipisahkan. Laksana dua sisi mata uang. Menulis tanpa membaca akan menghasilkan tulisan yang tidak bermutu. Sebaliknya, membaca tanpa menulis, manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri. Keduanya harus berjalan bersama dalam asas simbiosis mutualisme; saling melengkapi dan menyempurnakan.
Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa Imam Besar Qotadah mengatakan, "Pena adalah nikmat dari Allah Swt. Seandainya ia tidak ada, maka agama ini tidak bisa berdiri tegak dan kehidupan ini tidak bisa berjalan dengan baik." Sementara itu, Imam Ghazali berkata, "Dengan menulis, Anda bisa mencerdaskan berjuta-juta manusia secara tidak terbatas."
Sumber:
Buku "Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif" karya Jamal Ma'mur Asmani, cetakan ke-13, September 2012. Penerbit dari Diva Press, Jogjakarta.
Semoga bermanfaat yap :))